Nia
5 min readDec 13, 2023

Belajar diam.

Pict from twitter

Saat masih kecil, ibuku mengajariku bagaimana caranya berbicara. Mulai dari kosakata paling sederhana, hingga bisa berkata-kata dengan lancarnya. Orang tua dimanapun pasti akan sangat merasa senang dan bangga tatkala anak kecilnya sudah bisa berbicara, artinya dia normal dan tidak mengalami speech delay. Mungkin karena karakter ibuku yang sangat suka berbicara, aku tidak kesulitan sama sekali untuk menirunya dan bisa bercakap-cakap sejak aku kecil.

Saat aku tumbuh besar pun, bakat ‘senang berbicara’ ini ternyata ada banyak manfaatnya. Aku menjadi lebih dekat dengan guru TK-ku dulu (Bu Anjani) karena lebih senang mengobrol dengan beliau di ruang guru di saat teman-temanku yang lainnya bermain di taman sekolah. Saat SD aku ditunjuk mewakili sekolah untuk lomba debat bahasa Indonesia, mengikuti cerdas cermat, dan lomba siswa berprestasi. Lalu saat SMP mulai terlatih untuk menjadi story teller berbahasa Inggris, suka membaca puisi, dan bermain drama musikal. Kemudian saat SMA, bakat ‘senang bicara’ ku ini mengantarkanku menjadi ketua ekstrakurikuler, menjadi MC dalam acara-acara sekolah, dan sering menjadi juru bicara teman-temanku ketika rapat. Ketika kuliah pun, aku yang menjadi jubir ke masyarakat saat pengabdian CFHC & KKN, aktif di banyak kepanitiaan dan organisasi, juga menjadi MC di event fakultas. Alhamdulillah.

Aku senang, cukup senang dengan pengalaman itu sebab hal itu membentuk diriku yang sekarang. Meski tidak banyak yang tahu kalau Nia kecil adalah yang paling pemalu sehingga harus selalu diantar ibu ke sekolah saat TK. Atau diriku yang penakut sampai tidak berani pergi ke masjid hingga usiaku 7 tahun.

Namun, semakin dewasa ternyata ada pelajaran baru yang aku sadari dan itu berkebalikan dengan pemahamanku selama ini.

Jika masih kecil kita belajar untuk bisa berbicara, maka ketika dewasa kita belajar untuk diam.

Pernah suatu waktu dalam rapat tim, aku sudah terlalu banyak berbicara dan ada diksiku yang sepertinya menyinggung temanku yang lain. Alhasil dia menegurku dan menyampaikan, “Nia, bisa banyak berpendapat dan beretorika itu bagus, tapi jangan sampai menyakiti hati orang lain.” Deg. Sejak saat itu aku jadi lebih berhati-hati dalam berkata.

Seiring bertambahnya umurku, aku menemukan banyak kejadian yang setelah aku pahami memang lebih baik aku diam. Sebab memberikan penjelasan pun tidak akan membuat mereka paham. Justru terkadang emosinya akan meluap tak berkesudahan. Maka aku akan diam, ketika…

  • Berdebat dengan orang bodoh. Biasanya aku menemukan situasi ini saat ada perbedaan pendapat di sosmed. Sebetulnya wajar jika ada perbedaan opini, namun akan salah jika sudah sampai pada ujaran kebencian. Seringkali lawan bicaraku melakukan hal-hal yang mendiskreditkan diriku, ad hominem atau menyerang secara personal dan keluar dari konteks pembicaraan. Jika sudah begini, dia hanya akan mencari pembenaran. Maka sebaiknya yang waras ngalah. Kalau diladenin terus hanya akan jadi debat kusir dan itu dilarang oleh agamaku.
  • Asking for closure. Dulu aku kira, saat orang lain berubah sikap terhadapku, meninggalkanku, menyakitiku, mengkhianatiku, atau melakukan hal buruk kepadaku maka kita perlu menuntut mereka meminta maaf dan menuntut penjelasan. Ternyata setelah ku pahami, itu tidak perlu. Memaksa mereka menjelaskan hanya akan menambah beban pikiran diri kita sendiri. Bahkan sebenarnya, sikap diam dan jahatnya mereka terhadap kita adalah closure itu sendiri. Tandanya, mereka tidak baik untuk terus ada di hidup kita. Ini warning sign dari Allah bahwa warna asli mereka telah nampak dan kita sedang diselamatkan dari orang seperti itu. Jadi, cukup berdiri tegak dan pergi dari hidup mereka dengan penuh senyuman.
  • Ketika ada orang lain yang menghina kita. Mungkin ini sulit untuk dikendalikan karena ego kita ingin berusaha membalas perkataan jahat mereka. Padahal, mereka tidak sepenuhnya tahu diri kita yang sebenarnya. Mereka hanya tahu sedikit dari fragmen hidup kita lalu men-judge bahkan berkata kasar. Jika dihadapkan pada situasi ini, aku berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau meladeni mereka yang tidak tahu caranya menghargai orang lain. Jadi tidak perlu menghabiskan energi dengan orang-orang seperti ini. Not everyone deserves your energy. Sebab mereka memang ingin kita terpancing emosi. Jadi, cukup diam dan tinggalkan. Kita tidak perlu banyak menjelaskan ke orang yang membenci kita sebab mereka tidak akan pernah percaya. Selagi hanya personalku saja yang dihina, bukan agamaku, Tuhanku, Nabiku, atau keluargaku, maka aku akan mengikhlaskan dan diam.

Sikapilah orang lain dengan akhlakmu, bukan dengan bagaimana mereka memperlakukanmu.

  • Saat berbicara dengan orang lain. Untuk hal ini maksudnya yaitu belajar menjadi pendengar yang baik dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan mendengar, kita belajar untuk lebih memahami. Dengan banyak mendengar, kita akan mendapat lebih banyak informasi. Jadi, jangan buru-buru menimpali.
  • Di dalam rapat/forum penting. Tempatkan diri sebaik mungkin, jika tidak dipersilakan berbicara ya jangan berbicara dulu. Kita perlu bisa menempatkan diri dengan baik.

Seperti yang pernah disampaikan ustadz Felix Siauw, “tidak pernah omongan orang lain atau makian orang lain menentukan diri kita. Tapi cara kita merespon, itu yang menentukan diri Anda emas atau sampah.”

Kini aku belajar untuk menerima penilaian orang atasku. Lalu memilih diam tanpa harus beradu argumen mencari pembenaran. Aku belajar menjauh dari manusia yang menguras energiku. Aku belajar menyayangi diriku dan meninggalkan mereka yang tidak bisa menghargai nilai diriku.

“Do not let their words sadden you.” (QS Yunus : 65)

Obat dari kecewa atas sikap manusia adalah memaafkan, melepaskan, mengikhlaskan, dan menjauh. Kemudian kembali membangun bahagia baru dalam diri kita sendiri.

“Trying to control how others perceive you is a battle that cannot be won.”

Abu adz-Dzayyal rahimahullah berkata:

تعلم الصمت كما تتعلم الكلام، فإن يكن الكلام يهديك، فإن الصمت يقيك، ولك في الصمت خصلتان: تأخذ به علم من هو أعلم منك، وتدفع به عنك من هو أجدل منك.

"Belajarlah diam seperti engkau belajar bicara. Sebab, apabila bicara itu akan membimbingmu, maka sesungguhnya diam juga akan menjaga dirimu. Dengan diam, engkau akan mendapatkan dua hal: 1) engkau bisa mengambil ilmu dari orang yang lebih berilmu darimu, dan 2) engkau bisa menolak keburukan orang yang lebih pintar debat dari dirimu." (Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlih, jilid 1 hlm. 550)

Teach yourself not to take revenge from people in this world. Whenever someone hurts you or is unjust with you, remember that Allah is witnessing all of it and rest assured. He will take them to account. It’s just a matter of time inshaAllah.

Just because someone has treated you unkindly doesn’t mean you are unworthy of kindness. Just because someone has made you feel unloved doesn’t mean you don’t deserve love. Remember, when someone says hurtful things to you or acts in a way that hurts your heart, they are only showing the hurt they are carrying within themselves. Their action reflects who they are, not what you deserve.

Nia

A life-long learner. Associated with faith, knowledge, and wisdom.