Nia
2 min read4 days ago

Delete soon.

Pict from twitter

Aku terdiam, dan seketika bulir di mataku berjatuhan

Sudah dua tahun sejak terakhir kali kau melambaikan tanganmu di stasiun

Kini tidak pernah ada lagi ragamu di kota ini, dan aku semakin mahir mengingatmu lagi

Aku kira, waktu perlahan akan menghilangkan bayangmu

Aku kira, melepasmu tidak akan sesulit ini

Aku bisa membohongi dunia bahwa aku nampak baik-baik saja, tapi tidak untuk kali ini

Tuan, izinkan aku bersedih

Hatiku hancur, perihnya masih sangat terasa

Tuan, rinduku tak pernah sirna, namun mengharapkanmu bagaikan melukis di atas angin yang tak akan pernah menjadi nyata

Air mataku pecah, ingin rasanya teriak bak kesakitan dihunus pedang

Harus berapa kali lagi aku bersujud memohon pada Tuhan agar perasaan ini dihilangkan?

Harus berapa lama lagi aku menahan sesak, terjatuh, dan kesepian?

Bukan salahmu atas keputusan yang akhirnya melepasku

Bukan salah orang lain yang tak tahu menahu

Ini semua bermula dari aku yang terlampau percaya, berharap, dan memberimu kesempatan begitu besar

Tuan, jangan pernah lagi ada pertemuan

Sembuhku lama, melepasmu begitu sulit, melupakanmu terasa berat

Aku tidak mau semua ini sia-sia

Jika takdir membawa kita hanya untuk menjadi ujian bagi satu sama lain, maka semoga ujian itu dapat terlewati dengan baik

Kesadaran akan membawaku pulih, entah cepat atau lambat

Sadar bahwa ketetapan-Nya ialah yang terbaik

Sadar bahwa aku berhak mendapatkan bentuk cinta yang lebih indah

Sadar bahwa aku tidak layak diperlakukan sedemikian menyesakkan

Dan sadar, bahwa mengikhlaskan adalah bentuk kasih sayang dan penutup kisah terbaik yang bisa ku usahakan

Biarkan daunku berguguran, runtuh, kering, dan menghilang

Tersisa dahan dari pohonku, tanpa menyalahkan angin dan musim

Percaya, esok hijau akan kembali menyapa

[Tangisku di pelukan Ibu, Juni 2024]

Nia

A life-long learner. Associated with faith, knowledge, and wisdom.