Feels incompetence.
Akhir-akhir ini sedang ramai tayangan Clash of Champions (CoC), yaitu pertandingan adu kepintaran para mahasiswa berprestasi yang diselenggarakan oleh RuangGuru. Menarik sebab soal yang diberikan memang relatif sulit, menguji kekuatan memori dan kecepatan berhitung. Komentar di media sosial pun ramai sekali. Namun, ada satu yang menarik dibahas yaitu refleksi setelah menonton CoC. Ada seorang netizen di platform X yang bertanya, “buat kalian yang merasa pintar/berprestasi di sekolah dan academically gifted, kapan kalian merasa humble sama kehidupan?”
Aku pun tersadar, bahwa melihat anak-anak pintar ini membuatku termotivasi untuk belajar, sekaligus di satu sisi juga menyadari kalau di atas langit masih ada langit.
Sedikit cerita, sejak kelas 1 SD hingga SMA, alhamdulillah aku selalu mendapat ranking parallel (1–3 besar). Tetapi, momen ketika SD aku mengikuti olimpiade matematika untuk pertama kalinya dan aku gagal lolos ke tingkat provinsi, membuatku sadar bahwa aku tidak sejenius itu.
Saat SMP, aku ditunjuk guru mengikuti seleksi olimpiade Biologi. Saat itu sempat ikut Training Centre di Semarang, tetapi aku lagi-lagi gagal lolos ke tingkat nasional. Meski aku tetap mensyukuri pengalaman berharga sudah sampai di tahap itu.
Once again, life humbles me. Mengikuti berbagai macam perlombaan membuatku sadar bahwa orang-orang pintar di luar sana tuh banyak banget. Aku bukan siapa-siapa, ngga ada apa-apanya deh. Apalagi waktu berhadapan sama anak-anak dari sekolah elit favorit, kadang mental jadi agak menciut juga.
Tapi di sisi lain, keberhasilan setiap memenangkan suatu perlombaan membuat aku bersyukur dan menyadari self worth aku. Ternyata Allah juga memberiku kemampuan dan kapasitas untuk ikut bersaing dengan anak-anak lainnya. Dan seperti kata ibuku, “keberhasilan kita itu semata karena Allah, dek.”
Semakin kita menapaki jenjang kehidupan, maka tantangannya akan lebih berat, ujiannya lebih sulit. Soal Matematika siswa SMA tentu jauh lebih sulit daripada soal Matematika anak SD. Apalagi soal seleksi masuk perguruan tinggi, waduh sulitnya bukan main sih. Tapi di situlah maknanya, sulitnya ujian menandakan kita akan naik ke level berikutnya.
Waktu kuliah tentu tantangannya ada lagi, bukan hanya menguji kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual kita saat dihadapkan dengan berbagai persoalan.
Pernah di suatu waktu, aku terdiam merenung. Kenapa ya sesuatu yang terlihat mudah dan banyak orang bisa menyelesaikan, justru terasa sulit bagiku? Caranya yang sulit, atau kekhawatiranku yang terlalu besar? Ah, memang jadi kompleks masalahnya.
Tetapi aku pernah membaca salah satu tulisan ustadzah favoritku, ustadzah Yasmin Mogahed. Beliau menuturkan bahwa di awal Rosulullah saw menerima wakyu yang pertama, beliau diminta oleh malaikat Jibril untuk membaca. Tetapi Rosulullah menjawab, “aku tidak bisa membaca.” Malaikat Jibril pun mengulangi perintahnya, dan jawaban Rosul masih sama. Akhirnya, malaikat Jibril menambahkan kalimatnya, “Bacalah, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.” Barulah Rosulullah mengulangi ucapan malaikat Jibril.
Dari sini kita bisa mengambil hikmah bahwa segala sesuatu yang sulit dan menakutkan pun, akan bisa kita hadapi jika bersama Allah.
Without Allah, we can do nothing. With Allah, we can do everything.
Maka, saat kita merasa tidak sanggup mengerjakan sesuatu karena terasa sulit dan berat, mintalah pertolongan Allah. Seringkali kita mengandalkan kemampuan diri sendiri dan lupa bahwa kita punya Allah.
InsyaAllah, dengan ketekunan untuk terus belajar, dengan niat yang ikhlas, dengan doa yang tulus dilangitkan, maka tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Siapa juga yang bisa menghalangi Allah ketika Ia sudah berkehendak untuk memampukan kita?
لا حول ولا قوة إِلا بالله