Gelas dan cermin.
Menurutku ada dua analogi yang tepat untuk menggambarkan seorang pembelajar sejati. Gelas dan cermin. Dua benda ini merepresentasikan karakter dari lifelong learner.
Saat menjadi murid, siapkan diri untuk belajar dengan mengosongkan “gelas” kita. Gelas ini ibarat isi pikiran kita. Jadi, meski sebelumnya kita sudah belajar banyak hal, memiliki prior knowledge, dan segudang wawasan lainnya, kita perlu mengosongkan gelas agar diri kita bisa menyerap lebih banyak ilmu. Hindari kesombongan dalam diri seolah merasa lebih tahu atau lebih baik dari guru kita. Hindari sikap menyepelekan ilmu dan tidak mau mendengarkan materi. Kaidah undzur ma qoola wala tandzur man qola itu penting. Lihat apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan. Jadi, selagi yang disampaikan orang lain itu benar dan baik, maka kita perlu mengikuti dan menghargainya. Jika gelas kita sudah penuh duluan, maka sebanyak apapun ilmu yang guru kita tuangkan akan tumpah dan tidak masuk ke otak dan hati kita. Sebaik apapun kualitas guru kita, ilmunya tidak akan sampai ke diri kita dan justru kitalah yang merugi.
Ilmu tidak boleh disimpan sendiri, harus disampaikan ulang kepada yang lain agar kebaikannya terus mengalir, tidak menjadi air yang keruh dan dangkal. Maka saat kita menjadi penyampai ilmu entah sebagai guru, mentor, pemberi nasihat, atau memotivasi orang lain, maka gunakan analogi cermin. Kita harus terus merefleksikan diri agar apa yang keluar dari lisan kita juga diamalkan oleh kita. We have to walk the talk. Selaras antara perasaan, perkataan, dan perbuatan. Seorang guru akan ditiru oleh muridnya, seorang da’i akan dilihat sikapnya. Jika kita berbuat salah, maka orang lain bisa saja malas mencontoh kebaikan pada diri kita. Maka penting untuk terus memuhasabahi diri. Teriring doa,
Allahumma inni as’aluka ilman nafi’an warizqon thayyiban wa’amalan mutaqobbalan. (Yaa Allah aku mohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan baik, serta amal yang diterima).