Nia
7 min readNov 30, 2023

Dewasa ini aku baru sadar kalau kita ngga pernah diajarin gimana cara menghadapi patah hati. Kita juga ngga pernah dikasih tahu seperti apa itu teori buat move on. Sampai ketika mengalami sendiri, kita akan gelagapan dan bingung, harus gimana?

Di dunia ini, siapa sih yang belum pernah merasakan patah hati? Qadarullah aku sendiri pernah merasakannya. Saat itu kejadiannya sangat mendadak sehingga aku tidak siap menghadapinya. Long story short, aku telah berharap pada orang yang salah. Ini memang salahku, terlampau berharap kepada manusia dibanding berharap kepada Allah. Aku shock berat kala itu. Tubuhku mengalami gejala-gejala psikosomatis seperti pusing, mual, dada terasa sakit, takikardi, sulit berkonsentrasi, dan sulit menelan makanan. Lalu trigger sekecil apapun akan membuatku spontan meneteskan air mata kala itu. Karena aku merasa kesedihanku memanjang serta mengganggu, aku pun memberanikan diri untuk pergi ke psikolog. Aku masih ingat rasanya saat pertama kali memasuki ruang konsultasi dan menceritakan semuanya ke psikolog dengan terbata-bata. Walau semua advice psikolog itu sejatinya sudah aku ketahui sebelumnya, terlebih aku juga belajar materi itu di kuliah, tapi aku tetap merasa lebih baik karena setidaknya aku sudah berikhtiar untuk meringankan beban di hatiku.

Kalau diingat-ingat aku masih ngga menyangka diriku bisa melalui masa-masa itu. Semua hal itu menjadi pengalaman yang sangat mahal dan berharga di hidupku. Beruntung aku punya keluarga dan sahabat yang supportive sehingga aku bisa melalui masa-masa sedihku itu dengan baik.

As an ENFJ, I always try to hide my sadness. Tidak banyak yang tahu soal ini sebab aku memang merahasiakannya. Terlebih aku selalu bisa terlihat ceria dan baik-baik saja di depan semua orang. Aku juga bukan tipikal yang suka membuat story galau atau menunjukkan kesedihanku di social media. Walau aslinya, aku pernah shalat sambil bergetar sekujur badan karena menahan tangis dan sesenggukan dalam sujudku. Yaa Allah, that was my lowest point in my life.

Kembali ke soal move on, it was so confusing. Saat aku mengalami kejadian itu, rasanya semua teori yang pernah aku pelajari di otakku jadi ngga make sense. Yang aku rasakan ya sedih, kayak ada awan mendung mengikutiku ke manapun aku pergi. Dari hal ini aku pun jadi lebih menghargai orang lain yang punya luka, sebab kesedihan itu valid apapun penyebabnya. Luka yang ringan bagi kita, bisa saja terasa begitu berat bagi orang lain dan begitu pula sebaliknya.

Aku pun jadi lebih memahami mengapa ada orang yang bahkan sampai terpikir untuk bunuh diri hanya karena patah hati. Dulu aku merasa itu tuh lebay banget. Tapi setelah mengalami hal ini, aku jadi lebih bisa berempati. Sejatinya mereka tahu kalau suicide tuh ngga diperbolehkan dalam agama, tapi yang ada di pikiran mereka adalah gimana caranya agar rasa sakit itu berakhir atau hilang. Seriusan deh, ngga enak banget membawa rasa sakit dalam waktu yang lama. Sakit yang ngga kelihatan wujudnya, tapi terasa nyata perihnya. Namun bagaimanapun pikiran buruk itu muncul, kita harus berusaha mengenyahkannya dan tidak mengikutinya sebab itu adalah bisikan syaithan.

Di sisi lain, broken heart syndrome ini bisa mengarah ke hal-hal yang lebih berbahaya lagi secara medis. Misalnya, bisa mengarah ke Takotsubo Cardiomyopathy atau jantung jadi kesulitan memompa darah akibat otot jantung yang melemah karena kejadian emosional ekstrem seperti patah hati. Jadi, jangan remehkan kondisi patah hatimu ya.

Terus, apa dong yang harus kita lakuin saat patah hati? Sebenernya ada banyak tips dan hal-hal yang bisa kita lakuin untuk melewati masa kritisnya patah hati. Cuma yang harus diingat adalah kita perlu menerima dulu rasa sakitnya. Jangan menolak rasa sakitmu. Kecewalah, terlukalah, rasakanlah kesedihannya. Sebab, semakin kamu tolak rasa sakitnya, kamu akan semakin sulit untuk sembuh. Just enjoy the ride kalau kata aku mah.

Mengutip dari perkataan psikolog Adjie Santosoputro, “nggak perlu berusaha merelakan yang tak lagi bersamamu. Perlahan sadari aja lebih dalam, keutuhan dirimu enggak ditentukan dirinya. Berhenti berusaha menemukan dirimu di dalam dirinya, maka kemelekatan dengan dirinya akan mengendur sendiri sehingga kamu pun bisa merelakannya.”

Dalam teori psikologi, kita mengenal ada 5 stages of grieve; denial, anger, bargaining, depression, and acceptance. Nah durasi tiap orang di tiap fase ini tuh beda-beda. Makanya move on emang sifatnya personal banget. Aku misalnya, saat itu aku merasa diriku menjalani fase yang agak lama di anger/marah dan depression/kesedihan. Aku memproses semuanya perlahan hingga sampai di titik acceptance. Dan ternyata proses move on tuh ngga seperti garis lurus yang mana ketika kita sampai di ujungnya, kita akan tahu diri kita udah beneran sembuh. Move on tuh grafiknya naik turun kayak gelombang, akan ada hari di mana kita merasa udah sembuh, happy, dan fine-fine aja. Eh, besoknya nangis-nangis lagi. Jadi, prosesnya memang sangaat panjang dan kadang aku sendiri pun belum tahu di mana titik ujungnya. Tapi di situlah seninya move on, berusaha menikmati dan berteman dengan luka.

Kita perlu menerima dulu kalau luka itu menjadi bagian dari hidup kita. Kita perlu berteman dulu sama luka itu, menikmati rasa sakitnya, sambil disembuhin pelan-pelan. Kita perlu merawat luka itu agar sembuh, bukan membiarkan lukanya terus menganga dan berdarah. Kita sangat berharga, dan kita layak untuk sembuh serta menjalani hidup dengan bahagia.

Buatku, move on itu jadi perjalanan panjang di mana aku jadi lebih dekat dan lebih kenal sama diriku sendiri. Aku jadi tahu kelemahanku, apa yang tidak aku senangi, dan apa yang aku harapkan dari suatu hubungan.

Perjalanan move on juga jadi personal experience-ku untuk reconnect lagi sama Allah. Karena pada akhirnya, kita akan sembuh karena Allah yang menyembuhkan dan atas upaya aktif diri kita sendiri.

Ada hal-hal yang keliru soal move on menurutku, kayak misalnya ketika kita menggantungkan kesembuhan itu pada orang lain, entah orang baru atau psikolog atau siapapun itu. No, kita ngga akan sembuh kalau diri kita ngga ada kemauan untuk sembuh. Mau sehebat apapun orang lain ngasih motivasi buat kita, itu semua useless kalau kitanya ngga mau berusaha sembuh. Selain itu, kita juga ngga akan sembuh dengan distraksi aktivitas lain kalau ngga diiringi dengan upaya ikhlas dan penerimaan di hati. Cuma ya kita tetap perlu menjalani aktivitas dan amanah kita dengan baik, berusaha profesional ceunah. Meski hati sedang terluka, kewajiban tetep kudu dikerjain. Ya jangan sampai keteteran karena itu juga akan nambah masalah.

Hal yang pernah aku lakukan sebagai upaya menyembuhkan hati:

  • Aku cerita ke orang terdekatku yang paling aku percaya; ibuku, sahabatku & ustadzahku. Aku ngga bisa memendamnya sendirian dan aku butuh merasa lega dengan bercerita. Aku tumpahkan kesedihanku ke mereka tentunya setelah bercerita lebih dulu ke Allah.
  • Reconnect sama sahabat, teman, dan keluarga. Intensitas ketemu mereka jadi lebih sering untuk sekadar hangout atau makan bareng. Menjaga kewarasan sih apalagi aku tipe ENFJ yang ngga bisa sendirian terus.
  • Healing, jalan-jalan, main ke tempat baru. Aku sampai main ke luar kota, ke pantai, ke museum, ke taman, dll. Ini bener-bener refresh pikiranku sih biar ngga suntuk di dalam kamar terus. Lihat pohon, burung, ngerasain sinar matahari juga akan mendorong produksi hormon bahagia di tubuh.
  • Aku banyak melakukan hal-hal yang membuatku senang kayak main sama kucing, jogging, kulineran, belajar skill baru, join Arabic class, ikut kelas pranikah, dll. Setidaknya meskipun hatiku terluka, diriku harus terus level up hehe.
  • Aku banyak baca buku baru. Buku yang tadinya numpuk, jadi aku lahap semuanya. Dari situ juga aku menemukan perspektif berbeda dan membuka pikiranku untuk berpikir lebih luas lagi.
  • Ke kajian buat menimba ilmu agama. Meski sudah ikut forum halaqa rutin sepekan sekali, aku tetep usahakan ikut kajian lain bahkan yang temanya sudah pernah aku pelajari sebelumnya. Bagiku, duduk di majelis ilmu itu nenangin banget sih.
  • Aku jadi lebih peduli sama kesehatanku. Makin rutin skincare-an, body care, memperbaiki jam tidurku, makan sayur lebih banyak, dan workout lebih sering. Badan yang sehat tuh ngaruh ke mood kita juga.
  • More contemplation and self reflection. Aku jadi banyak merenung dan hasilnya aku tuangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan itu menjadi sarana aku meluapkan emosi dengan cara yang positif dan untuk menjadi pengingatku di kemudian hari.

Mungkin terdengar agak selfish tapi di momen itu fokusku memang ke diri sendiri. Rasanya selama ini aku sudah terlalu banyak berkorban untuk membahagiakan orang lain, dan inilah saatnya aku membahagiakan diri sendiri.

Dari proses ini juga aku jadi sadar, kapan kita beneran move on tuh ya nanti pada saatnya. When you know, you know. Kalau udah tiba di fase itu, rasanya bakal legaaaa banget dan bahkan udah ngga ada rasa lagi sama orang yang bikin kita terluka.

Ustadzah Oki Setiana Dewi pernah mengatakan, salah satu cara untuk sembuh adalah dengan mengingat keburukan orang tersebut. Move on jalur illfeel. Ini akan menguatkan hati kita sih kalau memang bukan dia yang terbaik buat kita. Meski ini juga bukan pijakan yang kuat karena se-red flag apapun orangnya, kalau perempuan masih mengandalkan perasaan maka ia masih akan susah move on. Maka seharusnya memang self control itu dibangun dari kesadaran akan koneksi kita dengan Allah. Bahwa Allah Maha Melihat semua yang kita lakukan, Allah Maha Adil dan akan membalas semua perbuatan kita, membangun rasa takut untuk bermaksiat kepada Allah, serta ketundukan pada syariat-Nya lah yang akan mengokohkan diri pada prinsip yang semestinya untuk benar-benar menjauhi segala sesuatu yang mendekatkan diri pada zina.

Meski kita ngga akan benar-benar lupa, ya nggapapa. Otak kita memang tidak didesain untuk langsung lupa atau delete memori tertentu dalam hidup. Move on itu dimaknai dengan berdamai sama keadaan, diri sendiri, dan orang lain. Lagipula, ada hikmahnya juga dengan kita tidak lupa dengan kejadian yang kurang mengenakkan. Sebab dari situ, Allah ingin kita selalu ingat pelajaran & hikmahnya.

Ustadz Hanan Attaki mengatakan bahwa move on itu bukan berarti kita harus lupa. Kalau tidak bisa lupa ya ngga papa. Move on dalam Islam itu ridha dengan ketetapan Allah. Kita menerima segala takdir-Nya dan meyakini bahwa itu yang terbaik. Lalu, kita fokus ke depan untuk melanjutkan hidup kita.

Tak ada obat yang paling ampuh bagi jiwa yang terluka, selain percaya dan yakin sepenuhnya bahwa ketetapan-Nya adalah yang terbaik.

Kita juga harus sadar betapa berharganya diri kita. Know our worth so we won’t settle for less anymore. Jangan lagi ya, jangan lagi menggantungkan bahagiamu pada orang lain. Bahagiamu itu hanya dari Allah, yang akan Allah berikan tatkala Ia ridha padamu. Maka tidak mungkin Allah akan ridha jika kamu menjauh dari-Nya.

Segala puji bagi Allah yang telah menemani proses penyembuhan lukaku, melindungiku, dan memberikan kesembuhan di hatiku. Semoga Allah karuniakan hati yang luas untuk kita semua bisa berdamai. Mari kembali meniti langkah, dunia yang luas menantimu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad 5: 363)

Harus kamu sadari bahwa cinta yang Allah tempatkan dalam hati tidak ada yang mampu mencabutnya kembali kecuali oleh-Nya. Bukanlah kehilangan, kebiasaan atau jarak yang bisa merenggutnya, bahkan kekecewaan pun tak akan mampu.” — Maulana ar-Rumi

Nia

A life-long learner. Associated with faith, knowledge, and wisdom.