Nia
6 min readJan 14, 2024

Pelajaran berharga dari Palestina.

Pict from Pinterest

Hari ini, 14 Januari 2024 adalah tepat 100 hari kejahatan kemanusiaan dan genosida yang dilakukan Israel ke Palestina tepatnya di jalur Gaza. Taufan Al Aqsha yang dimulai sejak tanggal 7 Oktober 2023 itu belum juga selesai meski beberapa kali dunia mengecam agar dilakukan gencatan senjata, meski Afrika Selatan yang didukung OKI telah menyeret kasus ini ke ICJ (Mahkamah Internasional), dan meski Israel telah dikecam berulang kali oleh masyarakat internasional.

Jujur saja, hatiku tidak karuan rasanya. Sedih, duka, marah, kecewa, dan merasa tak berdaya. Air mataku luruh setiap kali melihat video warga Palestina yang beredar di sosial media, memperlihatkan anak kecil penuh luka, seorang ibu yang menangisi kepergian anaknya, seorang ayah yang berduka kehilangan keluarganya, rusaknya berbagai fasilitas umum, anak-anak yang kelaparan menanti pembagian makanan, dan video yang menyayat hati lainnya. Sudah lebih dari 30.000 jiwa meninggal dan jutaan jiwa harus terusir dari rumahnya akibat serangan Israel ke Palestina. Bahkan aslinya, korban yang berjatuhan lebih banyak lagi jika kita merunut sejarah bahwa serangan yang terjadi sudah sejak tahun 1948.

Ini semua tidak normal, melihat genosida di depan mata tentu bukan suatu hal yang patut kita normalisasi. Jiwa kemanusiaan kita akan tergugah untuk mengatakan bahwa itu salah, bahwa itu perbuatan kejam nan biadab. Maka sungguh aneh jika masih ada yang membela Israel dan sekutunya (Inggris & Amerika Serikat) atau bahkan menormalisasi genosida. Jelas dia bukan manusia!

Aku bahkan merasa hidupku tidak lagi sama sejak 7 Oktober kemarin. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa di saat saudara kita di Palestina tengah menderita? Aku selalu merasa bersalah saat hendak tertawa, saat makan makanan enak, saat tertidur nyenyak, dan saat aku menikmati hidupku. Feeling useless, ingin rasanya menghentikan kekejaman tersebut. Meski telah berusaha menyuarakan di media sosial, mengikuti aksi bela Palestina, belajar lagi tentang Baitul Maqdis, memboikot produk pendukung zionis, dan turut berdonasi, namun tetap saja, kemerdekaan yang ku rasakan tak akan pernah sempurna sebelum Palestina juga merdeka.

Aku semakin kagum dengan warga muslim Palestina yang menunjukkan sikap begitu santun dan tabah dalam menghadapi kejadian ini. Meski telah kehilangan banyak hal berharga di hidup mereka, tidak pernah sekalipun mereka mengumpat atau menyalahkan Allah atas takdir yang mereka hadapi. Lisannya selalu terucap, “Alhamdulillah, laa hawla walaa quwwata illa billah. Hasbunallah wani’mal wakiil, ni’mal maula wani’mannashiir.” Sungguh luar biasa keteguhan hati, kuatnya iman, dan luasnya kesabaran mereka.

Dikutip dari Buku Kecil Baitul Maqdis, “Kerusakan bukanlah berupa mendapatkan cobaan/ujian, akan tetapi kerusakan adalah ketika mendapatkan cobaan ternyata tidak sabar. Adapun jika diuji tetap bersabar, maka berarti ia telah menempuh jalan para nabi dan orang-orang shalih.” MasyaAllah, maka sejatinya warga Palestina tidak terkalahkan karena kesabaran dan resiliensi mereka.

Warga Palestina juga tidak menyalahkan Hamas atas kekejaman yang terjadi. Mereka paham bahwa akar permasalahan Palestina adalah adanya penjajahan dan pendudukan Israel di tanah Baitul Maqdis yang berlangsung sejak 75 tahun lalu. Hamas hadir bak pahlawan yang membela kebenaran untuk terus melawan Israel. Meski dengan jumlah pasukan seadanya, meski dengan alat tempur sederhana, namun itu saja telah mampu memporak-porandakan pertahanan IDF (Israel Defense Force). Warga Palestina paham betul apa yang dilakukan Hamas, mereka sedang membela tanah airnya. Mereka sedang berusaha menjaga kehormatan Palestina di tengah keterbatasannya. Tidak seperti framing media Barat yang mengatakan bahwa Hamas itu teroris. Tidak dibenarkan juga tuduhan bahwa Gaza itu lemah, buktinya mereka sangat kuat dan masih tegak berdiri meski sudah diserang puluhan tahun lamanya.

Di tengah kondisi yang carut marut, kelaparan, kesulitan mendapat akses air bersih, fasilitas kesehatan yang lumpuh, ternyata warga Palestina tetap teguh pada keimanannya bahkan menjaga Al Qur’an dalam hati dan lisannya. Dalam kondisi segenting itu yang nyawa bisa melayang kapan saja, mereka tetap membaca ayat suci Al Qur’an. Mereka mengubah tenda pengungsian menjadi ruang bermajelis ilmu untuk anak-anak dan orang dewasa mengaji di sana. MasyaAllah. Jumlah hafidz/ah yang berhasil menyelesaikan hafalan Qur’annya pun bertambah sejak 7 Oktober. Lihatlah, di tengah kondisi genting seperti itu, mereka masih tetap menjaga kedekatan dengan Al Qur’an. Bagaiman dengan kita yang berada di tempat yang aman ini? Malu, sungguh malu!

Keteladanan warga Palestina telah menyadarkan aku tentang pentingnya penerimaan dan rasa syukur. Menerima setiap takdir dari-Nya tanpa mencela sedikitpun. Meyakini bahwa takdir yang Allah pilihkan adalah yang terbaik. Juga mensyukuri segala nikmat dan anugerah dari Allah. Bahwa ternyata yang selama ini bagi kita hal biasa, sudah taken for granted, ternyata sangat luar biasa bagi saudara kita yang lain. Jika kita masih diberi kesempatan untuk hidup, sehat, merdeka, masih dikelilingi keluarga dan sahabat, punya tempat tinggal, ada makanan untuk dimakan, bisa mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan, bisa bebas bermimpi dan mewujudkan cita-cita, maka kita harus selalu bersyukur. Saudara kita di Palestina sedang tidak bisa merasakan kenikmatan itu. Semoga Allah menjaga dan melindungi saudara kita di Palestina, aamiin.

Kejadian Taufan Al Aqsha ini juga menyadarkan aku tentang life mission & life call. Dulu aku pernah bertanya-tanya; mengapa Allah menakdirkan aku hidup di zaman ini? Mengapa tidak di zaman Rosulullah saja? Kini aku menemukan jawabannya, yaitu agar aku turut berjuang untuk membebaskan Baitul Maqdis. Sehingga misi hidupku dan panggilan hidupku kini menjadi lebih terarah dan fokus. Agar aku semakin giat belajar dalam mempelajari Baitul Maqdis serta bagaimana cara membebaskannya, agar aku menekuni bidang yang aku kuasai sehingga nantinya bisa dikontribusikan untuk Islam.

Lalu, apa yang dilakukan Afrika Selatan dalam menyeret Israel ke ICJ (International Court of Justice) juga menyadarkanku tentang penyikapan kita akan pengalaman traumatis di masa lalu. Afsel dan Israel sama-sama punya masa lalu yang kelam kaitannya dengan genosida. Namun, Afsel berhasil pulih dan bangkit untuk tidak melakukan kejahatan yang sama bahkan ikut membela negara korban genosida yang tertindas. Berbanding terbalik dengan Israel yang justru bermental korban (playing victim) dan mengulangi pola yang sama dalam melakukan genosida untuk mewujudkan ambisi mereka (mendirikan negara Yahudi Raya). Sungguh ironi.

Meski setiap dari kita memiliki pengalaman tak menyenangkan di masa lalu, semoga kita tidak bersikap seperti Israel. Pulihkan dirimu, jangan berlaku jahat pada orang lain, dan teruskan dalam membela kebenaran.

Kejadian yang menimpa Palestina juga mengajarkan aku agar berani untuk speak up. Berani menunjukkan stance-ku dalam mengutuk kejahatan kemanusiaan ini. Aku tidak lagi mempedulikan apa kata orang ketika bersuara di media sosial, sebab yang terpenting aku ikut membela saudaraku yang tengah didzalimi. Bahwa meski hanya berupa langkah kecil, semoga itu menjadi hujjah di yaumul akhir kelak bahwa aku tidak diam saat Palestina diserang.

Jujur, dalam hidup ini ada kalanya terfikir untuk menyerah. Namun, rasanya malu sekali jika tidak mengerahkan daya juang yang maksimal setelah aku melihat perjuangan saudara-saudaraku di Gaza. Mereka yang selalu percaya untuk terus hidup membawa harapan yang menyala. Mereka penuh yakin bahwa akan ada cahaya setelah menapaki lorong-lorong gelap. Mereka terus berupaya meski tahu kekuatan musuh jauh lebih besar. Mereka tidak gentar meski bom berjatuhan dan menyambar-nyambar. Sungguh, jika “jihad”ku di sini ialah dengan berdakwah dan menggapai cita-cita saja, maka itu tak ada apa-apanya dibanding perjuangan rakyat Palestina. Dear Palestinians, you’re my role model, you’re my inspiration and source of spirit.

Terakhir, aku disadarkan bahwa ternyata harga surga itu mahal. Harga surga itu sebagaimana yang dilalui oleh muslimin Palestina. They’re the people of jannah. Mereka yang terluka, terbunuh, tersiksa, kelaparan, kehilangan semuanya, dan mengalami kesedihan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Lantas, bagaimana dengan kita yang untuk sujud pun masih malas, yang diuji sedikit saja sudah mengeluh, yang punya fasilitas lengkap tapi tidak diupayakan untuk agama Allah? Malu sekali, ironi sekali. Gaza memang terjajah secara fisik, sementara kita terjajah keimanan & hawa nafsunya.

Allah sedang mengajarkan kita (dan mereka) bahwa dunia ini bukanlah “rumah” yang sebenarnya. Allah mengajarkan kita akan keyakinan bahwa pertolongan Allah itu dekat, sangat dekat. Warga Palestina bukan tidak sedang ditolong Allah, namun Allah lebih tahu yang terbaik untuk kebaikan akhirat mereka yang bisa jadi dihadiahi surga. Justru kita yang belum aman, sebab apa yang terjadi di Palestina juga menjadi ujian bagi keimanan kita. Apakah kita ikut membela mereka atau justru abai dan lalai?

Allahumma a’izzal islama wal muslimin.

Nia

A life-long learner. Associated with faith, knowledge, and wisdom.