Sepotong roti dan kesedihanku.

Nia
2 min read4 days ago

--

Sore ini aku mengganjal perutku dengan sepotong roti, habisnya hanya itu yang tersisa di kantin. Mau beli makan siang ke tempat yang lebih jauh sudah terlampau malas. Ini sajalah.

Hanya sepotong roti, tetapi memoriku berlarian ke arah horizon nan jauh di sana. Pada sebuah kota yang tengah dibombardir habis tak bersisa. Pada sebuah kota yang penuh dengan darah, tangis, bangkai, asap, dan reruntuhan.

Yaa Rabb, maafkan hamba…

Di saat aku bisa makan roti di sini, saudaraku di sana menahan lapar yang entah sampai kapan.

Di saat aku bisa makan enak di sini, saudaraku mengonsumsi rumput kering dan dedaunan. Betapa tidak enaknya, betapa menyiksanya…

Di saat aku bisa makan dengan layak di sini, saudaraku mengonsumsi kue yang dibuat dari sisa pakan binatang.

Tangis bayi-bayi itu pecah karena tak kunjung mendapat asupan nutrisi. Anak-anak kecil itu tinggal tulang belulang dibungkus kulit, dibunuh perlahan oleh Zionazi dengan kelaparan tak berperi.

Para ayah di sana mulai mengikatkan batu di perutnya, layaknya Baginda Nabi yang menahan lapar di masa pemboikotan oleh Quraisy.

Adik kecil itu menangis karena harus mengantri makanan terlalu lama dan ia tak sengaja menumpahkannya di jalan karena keberatan dengan beban yang dibawa.

Anak muda yang penuh semangat berhamburan pergi menuju truk pembawa bantuan itu, justru ditembaki secara brutal dan bengis hingga akhirnya nyawa mereka melayang.

Yaa Rabb, ampuni kami, maafkan hamba-Mu ini yang lemah tak berdaya.

Anak kecil Gaza itu berujar, “aku lebih baik mati, bukankah di surga ada lebih banyak makanan?”

Anak kecil Gaza itu ditanyai, “kamu mau apa?” dan dengan polosnya ia menjawab, “aku mau indomie”

Yaa Rabb, di sini makanan berlimpah ruah. Namun kami seringkali hilang arah dan iman kami mudah goyah.

Di sana, tak ada makanan yang layak dimakan tetapi keimanan mereka setegar karang, tak pernah tergoyahkan bahkan oleh bayang-bayang ajal dan siksaan kejam.

Rasanya seolah tak berdaya, lemah dan pasrah. Seberapapun banyak bantuan yang kita kirimkan, sama saja. Bantuan-bantuan itu tertahan di pintu perbatasan.

Bangsat, biadab, tak tahu malu, bengis, kejam, ah aku telah kehabisan kata untuk melukiskan kejahatan Zionist Israel.

Pintaku, jaga dan lindungi saudara kami di Palestina yaa Allah. Maafkan keterbatasan dan ketidakmampuan kami…

[Kota Pelajar, 26 Juni 2024]

--

--

Nia

A life-long learner. Associated with faith, knowledge, and wisdom.