Nia
4 min readJun 19, 2024

Memaknai momen idul adha (part 2)

Tulisanku yang part 1 bisa dibaca di sini ☺

Buku "Nalar Kritis Muslimah"

Jika di tahun lalu aku menulis tentang makna idul adha soal belajar mengikhlaskan dan meletakkan kecintaan tertinggi pada Allah, maka di momen idul adha tahun ini aku menemukan hikmah lain yang personally sangat relate dengan kehidupanku.

#1 Kesabaran dalam menunggu

Menyelami kisah para Nabi selalu membuatku terkesima, bagaimana kisah ribuan tahun dulu bisa begitu membekas hikmahnya untuk kehidupan di masa sekarang.

Seperti yang kita tahu, ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Siti Sarah menikah, beliau tidak langsung dikaruniai anak bahkan hingga di masa senjanya. Mereka harus menunggu puluhan tahun, sampai-sampai Bunda Sarah mengizinkan Nabi Ibrahim as. menikah lagi dengan seorang budak bernama Siti Hajar. Barulah dari pernikahan tersebut, Nabi Ibrahim memiliki anak yang diberi nama Ismail as.

Dari cuplikan kisah ini saja kita jadi tahu bahwa nabi pun diuji untuk sabar dalam menunggu. Bayangkan jika saat itu dikaitkan dengan kondisi sekarang yang segala sesuatunya diukur dari society standard. Orang yang berhasil dan bahagia dicirikan harus bisa menikah di usia muda, memiliki keturunan pasca menikah, memiliki harta berlimpah, dst. Kebayang ngga sih pertanyaan tetangga yang terus mengusik “kapan punya momongan? kapan isi?” dst ketika dalam kondisi menanti. Hal ini juga berkaitan dengan keadaan lain seperti, “kapan menikah? kapan lulus? udah kerja belum? kapan nih punya rumah sendiri?” dst. Pertanyaan perihal pencapaian yang tiada henti.

Padahal, kita sebagai manusia hanya diminta untuk terus ikhtiar dan berdoa. Perihal hasil, timing atau soal ‘kapan’ itu hanya Allah yang Tahu dan Menentukan. Memang pada akhirnya kesabaran yang baik ini harus kita latih terus menerus. Sabar yang terwujud dalam keyakinan yang utuh pada Allah bahwa Ia selalu membersamai kita dan akan memberikan takdir terbaik untuk kita, sabar yang diiringi dengan ketaatan tanpa menyalahkan keadaan, sabar dengan selalu mensyukuri nikmat yang lebih banyak Allah hadirkan.

#2 Gigih dalam berjuang

Pernahkah terbayang dalam benakmu? Apa jadinya kalau seorang ibu dan bayi ditinggalkan di tengah padang pasir tandus seorang diri tanpa perbekalan memadai? Bagaimana nasib mereka? Bukankah akan kebingungan, kepanasan, dan kehausan?

Itulah yang dirasakan Bunda Hajar. Tatkala perbekalan mulai menipis, bayi Ismail terus menangis karena kehausan sementara di sekitar mereka hanya ada pasir, bukit, tanpa sumber air sedikitpun. Pantaslah para musafir dan kabilah dagang tidak pernah melirik daerah itu sebagai tempat bermukim karena kondisi geografisnya yang dinilai tak menguntungkan, tak ada sumber kehidupan.

Namun, di tengah kebingungannya, Bunda Hajar tak berputus asa. Ia berlari dari satu bukit ke bukit lain tatkala melihat bayang-bayang air di udara. Tetapi hasilnya nihil, sampai-sampai ia harus terus berlari bolak-balik mengejar bayang-bayang air itu (fatamorgana).

Tapi sungguh amat mengejutkan, justru sumber air muncul dari bawah kaki Nabi Ismail yang terus bergerak-gerak. Itulah yang menjadi cikal bakal peradaban Mekkah. Mata air itupun dinamakan zam-zam. Lalu ikhtiar bunda Hajar dijadikan salah satu rukun haji yaitu sa’i (berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak 7 kali). MasyaaAllah.

Lihatlah, betapa Allah menghadirkan hadiah istimewa selepas berusaha. Meski kita tak tahu hasil akhirnya, meski kita tak tahu pertolongan Allah akan datang dari mana arahnya, tetapi Ia tak pernah meninggalkan kita. Usaha itulah yang Allah nilai, Ikhtiar itulah yang Allah lihat prosesnya.

#3 Esensi ketaatan & Kesediaan untuk berkorban

Seorang suami yang baru saja gembira dikaruniai anak yang lahir dalam kondisi sehat, lalu Allah perintahkan ia untuk meninggalkan istri dan bayi tersebut di tengah gurun pasir yang gersang. Lalu setelah akhirnya dapat bertemu kembali, sang ayah yang teramat bahagia bisa bersua dengan buah hatinya justru kemudian Allah uji dengan perintah menyembelih putranya tersebut.

Bagaimana perasaanmu membayangkan kejadian itu? Berat? Pasti. Hati Nabi Ibrahim as berkecamuk antara rasa sayangnya terhadap istri dan anak dengan keharusan taat kepada perintah Allah SWT. Namun beliau mampu mengenyahkan segala godaan syaitan dan bisa menjadi hamba yang benar-benar taat kepada Allah.

Lalu, kita bisa lihat ternyata bertahun-tahun setelahnya, Mekkah menjadi titik awal peradaban Islam yang gemilang. Perintah kurban menjadi salah satu penggerak ekonomi dan mendorong kesejahteraan masyarakat dengan berbagi.

Ternyata, selalu ada hikmah besar dari setiap bentuk ketaatan kita kepada Allah. Meski awalnya tidak mudah untuk menjalaninya, meski harus diiringi dengan pengorbanan yang luar biasa. Meski hasil yang indah tidak langsung nampak di depan mata. Tapi sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan setiap bentuk ketaatan kita kepada-Nya.

Menjadi refleksi untuk diriku sendiri, sudah seberapa besar dan seberapa banyak dari hidupku yang aku korbankan untuk membuktikan kecintaanku kepada Allah? Atau jangan-jangan selama ini lebih banyak terlena dan santai-santainya? Lebih banyak mengeluh dan melalaikannya?

Teringat dengan apa yang terjadi di Gaza saat ini, di tengah kondisi yang sulit dan menghimpit, mereka pun telah kehilangan semuanya, baik harta benda, rumah, anak, istri, suami, orang tua, pekerjaan, bahkan anggota tubuhnya. Tetapi mereka masih mampu berujar, “ambil yaa Allah, ambil semuanya yaa Rabb sampai Engkau ridha kepada kami.”

Yaa Allah, betapa mereka tidak takut kehilangan dunia asalkan Allah meridhai mereka. Bagaimana dengan kita?

SubhanAllah, semoga setiap dari kita dimudahkan untuk bersabar dalam menanti apa-apa yang diinginkan, bersemangat dalam ikhtiar mewujudkan hal-hal yang diimpikan, dan selalu memprioritaskan Allah dengan menaati semua perintah-Nya. Aamiin

~ditulis di hari Tasyrik ke-3, Eid al adha 1445 H

Nia

A life-long learner. Associated with faith, knowledge, and wisdom.